DI BALIK NAMA
SANIA
Sania dari kegelapan, lahir pula
untuk kegelapan.
Begitulah orang-orang menyebut
Sania, gadis belia berumur 17 tahun yang hanya tinggal bersama Ibunya di
tengah-tengah kejamnya arus kehidupan di Ibukota. Dalam kesehariannya, ia tak
pernah seharipun tidak mendapat cemoohan dan cibiran dari para tetangganya
bahkan Ibunya sampai di asingkan karena melahirkan anak yang tak beradab. Hal
itu terjadi karena Sania memilih terjun pada dunia malam, keluar masuk bar
setiap harinya. Pulang larut malam bahkan sekali dua kali pulang pagi.
Bagi masyarakat pojokan kota Jakarta
yang mayoritas di tinggali oleh orang-orang urban, yang memang pada hakikatnya
adalah orang dari desa dimana di tempat asalnya tak terdapat tempat-tempat yang
musiknya dapat memekakkan gendang telinga, tempat orang mabuk atau sebagainya
tentulah perilaku Sania di anggap sangat buruk dan tidak dapat di terima dengan
alasan apapun.
Sania tak pernah menutup telinganya
dari cibiran-cibiran tetangganya itu, ia tetap bersikap biasa tetapi juga tak
ramah pada tetangganya. Ia memang gadis yang tegar meskipun kadang kala
emosinya terpancing tetapi ia tetap bisa mengendalikan amarahnya bahkan dapat
meredamnya karena tak ingin dirinya di kuasai oleh emosi.
“Anakku, tidak bisakah kau berhenti
dari hingar bingar dunia malammu itu nak?.” Kata ibunya di depan pintu bilik
Sania yang terbuka dan menampakkan putrinya yang sedang mematut dirinya di
depan kaca riasnya.
“Bukankah akan lebih baik jika kau
belajar di malam hari seperti anak-anak pada umumnya?.” Lanjut ibunya penuh
harap.
Sania acuh, dirinya tetap merias
mukanya dengan alat make up yang serba murah dan rendah kualitas itu yang ia
dapat dari ruko bu Tisna. Setelah selesai, Sania melewati ibunya begitu saja
dengan memakai jins biru selutut dengan kaos hitam polos sebahu yang dipadu
dengan kemeja warna salem kotak-kotak, tak lupa memakai topi dan sepatu yang
berwarna abu-abu tua juga tas selempang lusuhnya yang ia dapatkan ketika ulang
tahunnya yang ke-16 dari abangnya yang sekarang tak ada kabar di perantauan.
“Jangan lupa kunci pintu bu.” Kata
Sania sebelum memulai aktivitas di dunia malamnya.
Sania duduk di halte bus, menunggu
bus langgananya yang biasa mengantarnya ke bar tempatnya bekerja. Setelah
bus-nya tiba di halte, Sania segera menaiki bus tersebut dan disana dia
mendapati Teman SMP-nya sedang duduk di salah satu kursi bus sambil
memandanginya dengan seulas senyum tulus, Sania yang mengerti maksudnya pun
segera duduk di sebelah kirinya.
“Aku bisa menebak apa yang akan kau
lakukan saat bus ini berjalan San.” Kata Hani.
“Kau tahu kan aku tak punya cukup
waktu untuk yang satu ini.” Jawab Sania nyengir dengan mengeluarkan buku
pelajarannya.
“Kau akan punya waktu, lebih malah
jika kau melepaskan profesi DJ-mu itu.” Kata Hani sedikit menekan 5 kata
terakhirnya.
Sania diam tak menjawab, ia lebih
memilih menyibukkan diri dengan membaca beberapa buku pelajarannya sampai ia
bisa sampai pada tujuannya yang kurang lebih dia tempuh selama satu jam. Hani
pun demikian, setelah teman lamanya itu mengacuhkannya ia pun memilih bungkam
dan sesekali memainkan gadget-nya.
“Jangan buang waktumu untuk
memikirkanku Han, percayalah semua akan indah pada waktunya.” Kata Sania
sebelum akhirnya mereka berpisah setibanya di halte.
Sania bekerja sebagai DJ di sebuah
bar dan kadang juga sebagai bartender yang tugasnya mengambil dan menuangkan
minuman pada gelas-gelas para pemabuk.
“Sania, sudahkah kau membeli buku
yang diperintahkan gurumu kemarin?.” Tanya ibunya di pagi buta.
“Tidak… maksudku Sania bisa meminjam
buku teman sebangku bu, buku itu lumayan mahal lagian membelinya juga tidak di
wajibkan hanya di sarankan.” Jawab Sania lalu bangkit dari dipannya memeluk dan
mencium lembut kening ibunya sebelum akhirnya dia kembali menjajakan dagangan
sayur ibunya ke komplek-komplek di sekitar tempat tinggalnya.
Sania kembali dengan gerobak tua
ibunya pukul 05.55, menyerahkan hasil jualannya yang hanya mendapatkan uang
35.000 menurun dari hari sebelumnya, memakan sarapan seadanya yang telah
disiapkan oleh ibunya , mandi lalu berangkat ke sekolah yang tak seberapa jauh
dari lingkungan perumahannya.
Pada hari Minggu pagi tepatnya saat
Sania masih memanjakan tubuhnya di kasur usangnya, ia dengan jelas mendengar
sesuatu jatuh bedebam tak jauh dari biliknya. Matanya terbelalak, ia sepenuhnya
sadar dan dengan cepat meloncat dari dipannya menuju sumber suara tersebut. Hal
yang dia takuti pun terjadi, untuk kedua kalinya ia melihat ibunya terkapar di
lantai dengan bibirnya yang miring, stroke.
Sania berteriak minta tolong tetapi
hasilnya nihil karena masih pagi buta, pintu tetangga-tengganya masih tertutup
rapat dan beberapa yang mendengar teriakan Sania pun acuh karena ketidaksukaan
mereka pada Sania. Baru 5 menit kemudian datanglah Haji Tamrin dengan
tergopoh-gopoh dan segera membantu Sania membawa Ibunya ke Puskesmas naik
angkot yang kebetulan sudah beroperasi.
“Stroke kedua.” Kata dokter Fifi.
“Maafkan saya dok, tapi uang saya
belum cukup untuk mengoperasikan APS yang di derita ibu saya.” Kata Sania
dengan mata yang berkaca-kaca.
“Antiphospholipid Syndrome Primer
ibumu tidak bisa hanya di obat jalan saja nak, penggumpalan darah penyakit
autoimun ini bisa saja menggumpal dan pecah di mana saja termasuk di mata yang
pasti akan menimbulkan kebutaan baik secara sementara maupun permanen, bahkan
yang terparah bisa mengakibatkan kematian.” Jelas dokter Fifi.
Tangis Sania pecah begitu saja saat
dokter Fifi berlalu meninggalkannya, perih dirasakannya saat melihat ibunya
terbaring lemah di ruang ICU. Haji Tamrin berusaha menenangkan Sania sebelum
akhirnya dia terpaksa harus pulang karena dia ada acara lain.
Sania menyusuri jalan, mencari-cari
selebaran lowongan pekerjaan yang bergaji besar dalam waktu yang singkat
setelah sebelumnya menyerahkan uang tabungannya kepada dokter Fifi yang memang
telah jauh-jauh hari ia siapkan untuk penyembuhan ibunya.
“APS Primer memiliki presentase
kesembuhan yang kecil Sania, meskipun operasi telah di lakukan untuk ibumu
tetapi tetap saja penyakit itu tidak akan hilang. Hanya saja, operasi dilakukan
untuk mencegah beberapa kemungkinan buruk setelah stroke kedua. Jangan biarkan
seharipun ibumu lupa meminum obatnya karena dengan cara itu maka kita bisa
sedikit melumpuhkan APS Primer ibumu.” Jelas dokter Fifi sambil mengelus rambut
Sania.
“Terimakasih atas kerja keras anda
dok.” Kata Sania sumringah.
Ibunya masih harus mengalami masa
koma setelah operasi, selama ibunya koma Sania tak pernah sekalipun
meninggalkan rumah sakit karena ia ingin hanya dialah yang dilihat pertama kali
oleh ibunya saat sudah kembali dari komanya,
2 Minggu setelahnya barulah ibunya
sadar dari komanya, tapi sikap ibunya berubah seketika. Ibunya tak ingin di
dekati olehnya, tak bisa di ajak bicara oleh siapapun. Ibunya terus diam dan
seperti memikirkan sesuatu, kadang-kadang juga menangis.
“Ada apa bu? Apa yang terjadi
denganmu?.” Tanya Sania dengan masih berada di jarak yang jauh dari ibunya.
“Diam kau anak biadab!.” Kalimat
pertama yang diucapkan padanya setelah sadar dari komanya 5 hari yang lalu.
Hatinya perih tak tertahankan,
kalimat itu memang biasa ia dengar dari para tetangganya tetapi kali ini
berbeda karena kalimat itu diucapkan dengan spontan oleh ibunya sendiri. Sania
menangis menunduk dengan kedua tangannya memegang dadanya yang sesak.
Ibunya melepas selang infus dari
tangan kanannya turun dari kasur rumah sakit dan berjalan mendekati putrinya
yang sekarang menunduk dengan batinnya yang meronta kesakitan. Dengan kasar
ibunya menarik rambut Sania untuk mendongakkan wajah Sania yang memerah dengan
kedua pipinya yang basah oleh air mata.
Kini sakit yang di rasakan Sania
bukan hanya mendera batinnya tetapi juga fisiknya karena ibunya berulang kali
memukul, menampar dan menarik kuat rambut hitam panjang Sania yang selalu di
kuncir. Tidak ada yang mengetahui perlakuan kasar ibunya itu karena Sania
benar-benar menahan rasa sakitnya dan membungkam mulutnya dengan kedua
tangannya agar tidak bersuara karena ia tak mau ibunya dipandang buruk oleh
orang lain.
“Sakit Sania?.” Tanya ibunya dengan nada
marah.
Sania mengangguk pasrah karena
tangan ibunya masih mencengkram erat rambutnya.
“Itu tidak lebih parah dari apa yang
ibumu ini rasakan Sania, bertahun-tahun…….” Kalimatnya terhenti karena ibunya
tak sanggup untuk menahan air matanya lagi.
“Bertahun-tahun ibumu yang miskin
ini mendidikmu Sania, kau bahkan tak pernah sekalipun mengiyakan keinginan
ibumu untuk berhenti bekerja pada malam hari. Ibu sudah gagal mendidikmu Sania.
Gagal..” kata Ibunya, kini keduanya menangis.
“Tidak bu.. itu tidak….”
“Apa Sania? Apa? Terlambat Sania,
jangan meminta maaf padaku.” Kata ibunya.
Sania tak menjawab apapun, ia hanya
menangis.
“Apa benar kau dari kegelapan Sania?
Apa aku melahirkanmu untuk kegelapan?.” Tanya ibunya penuh penekanan.
“Apa maksud ibu?.” Tanya Sania tak
mengerti.
“Lihat apa yang terjadi pada ibumu!
Darimana kau mendapat uang untuk mengoperasiku? Uang itu pastilah dari
kegelapan yang mereka maksud kan?.” Jawab ibunya kini kembali menangis lagi.
“Tidak bu, bukan.” Jawab Sania.
“Tidak apanya? Kau juga pembohong
sekarang Sania? Ibu kecewa.” Kata ibunya lalu kembali ke kasurnya.
“Maafkan Sania bu, tapi Sania benar
tidak melakukan sesuatu yang ibu maksudkan itu.” Jawab Sania
bersungguh-sungguh.
“Lalu?.”
“Sania tak pernah membayar SPP
sekolah Sania bu, karena Sania mendapatkan beasiswa di sekolah dan uang hasil kerja DJ Sania simpan untuk
biaya penyembuhan ibu. Sania juga bekerja sebagai pencuci piring di
warung-warung sepulang sekolah.” Kata Sania yang sukses membuat ibunya
membelalakkan matanya dan mengisyaratkan pada Sania untuk mendekat padanya.
“Maafkan ibu nak, karena yang ibu
tahu hanyalah kau bekerja di bar bukan yang lainnya apalagi niatmu untuk
membiayai perawatan ibumu. Maafkan keaadaan fisik dan ekonomi ibumu ini yang
apapun selalu bertumpu padamu.” Kata ibunya lalu memeluk erat Sania sambil
menangis haru dan menyesali perbuatan kasarnya pada Sania tadi.
“Jangan salahkan keadaan bu, jangan
mengeluh apapun keadaannya karena mengeluh sama saja dengan kufur terhadap
nikmat Sang Pencipta. Yakinlah bu, semua akan indah pada waktunya.” Jawab Sania
yang semakin membuat ibunya terharu.
Ibunya kini sangat menyesal karena
kata-kata kotor yang ia lontarkan pada putrinya itu, ia kini sadar bahwa
beberapa waktu yang lalu ia menjelma seperti tetangga-tetangganya yang dengan
tidak sengaja telah ikut andil dalam pembentukan karakter putrinya dengan
menambah ketegaran hati putrinya itu bahwa selama ini terdapat
gumpalan-gumpalan kabut hitam yang berada tepat di depan mata mereka sehingga mereka
dengan mudah mengklaim atas apa yang di tangkap oleh pandangan mereka tanpa
mengetahui akan apa yang terhalang kabut hitam tersebut, dan hal itu juga
terjadi pada dirinya sendiri yang telah mengakibatkan air mata putrinya
menganak sungai.
“Adakah lagi yang ingin kau katakan
pada ibumu yang tak berdaya ini, Nak?.” Tanya ibunya.
Sania menarik nafasnya dalam-dalam,
mengeratkan pelukannya pada tubuh ibunya, mencium kening dan kedua pipi ibunya lalu
memeluk ibunya lagi sambil mengatakan sebuah kenyataan yang pastinya akan
membuat ibunya menangis dan bersedih hati.
“Ini pilihan Sania bu, bukan salah
ibu atau siapapun. Sania telah melanggar aturan pemerintah bu, semoga Tuhan
memaafkanku dan juga ibu berkenan memaafkan Sania, saat ini bu.. Sania hanya
memiliki satu ginjal.”
Karya, Vivit IC Hartono