Jumat, 01 April 2016

Goresan Pena VICH



DI BALIK NAMA SANIA

            Sania dari kegelapan, lahir pula untuk kegelapan.
            Begitulah orang-orang menyebut Sania, gadis belia berumur 17 tahun yang hanya tinggal bersama Ibunya di tengah-tengah kejamnya arus kehidupan di Ibukota. Dalam kesehariannya, ia tak pernah seharipun tidak mendapat cemoohan dan cibiran dari para tetangganya bahkan Ibunya sampai di asingkan karena melahirkan anak yang tak beradab. Hal itu terjadi karena Sania memilih terjun pada dunia malam, keluar masuk bar setiap harinya. Pulang larut malam bahkan sekali dua kali pulang pagi.
            Bagi masyarakat pojokan kota Jakarta yang mayoritas di tinggali oleh orang-orang urban, yang memang pada hakikatnya adalah orang dari desa dimana di tempat asalnya tak terdapat tempat-tempat yang musiknya dapat memekakkan gendang telinga, tempat orang mabuk atau sebagainya tentulah perilaku Sania di anggap sangat buruk dan tidak dapat di terima dengan alasan apapun.
            Sania tak pernah menutup telinganya dari cibiran-cibiran tetangganya itu, ia tetap bersikap biasa tetapi juga tak ramah pada tetangganya. Ia memang gadis yang tegar meskipun kadang kala emosinya terpancing tetapi ia tetap bisa mengendalikan amarahnya bahkan dapat meredamnya karena tak ingin dirinya di kuasai oleh emosi.
            “Anakku, tidak bisakah kau berhenti dari hingar bingar dunia malammu itu nak?.” Kata ibunya di depan pintu bilik Sania yang terbuka dan menampakkan putrinya yang sedang mematut dirinya di depan kaca riasnya.
            “Bukankah akan lebih baik jika kau belajar di malam hari seperti anak-anak pada umumnya?.” Lanjut ibunya penuh harap.
            Sania acuh, dirinya tetap merias mukanya dengan alat make up yang serba murah dan rendah kualitas itu yang ia dapat dari ruko bu Tisna. Setelah selesai, Sania melewati ibunya begitu saja dengan memakai jins biru selutut dengan kaos hitam polos sebahu yang dipadu dengan kemeja warna salem kotak-kotak, tak lupa memakai topi dan sepatu yang berwarna abu-abu tua juga tas selempang lusuhnya yang ia dapatkan ketika ulang tahunnya yang ke-16 dari abangnya yang sekarang tak ada kabar di perantauan.
            “Jangan lupa kunci pintu bu.” Kata Sania sebelum memulai aktivitas di dunia malamnya.
            Sania duduk di halte bus, menunggu bus langgananya yang biasa mengantarnya ke bar tempatnya bekerja. Setelah bus-nya tiba di halte, Sania segera menaiki bus tersebut dan disana dia mendapati Teman SMP-nya sedang duduk di salah satu kursi bus sambil memandanginya dengan seulas senyum tulus, Sania yang mengerti maksudnya pun segera duduk di sebelah kirinya.
            “Aku bisa menebak apa yang akan kau lakukan saat bus ini berjalan San.” Kata Hani.
            “Kau tahu kan aku tak punya cukup waktu untuk yang satu ini.” Jawab Sania nyengir dengan mengeluarkan buku pelajarannya.
            “Kau akan punya waktu, lebih malah jika kau melepaskan profesi DJ-mu itu.” Kata Hani sedikit menekan 5 kata terakhirnya.
            Sania diam tak menjawab, ia lebih memilih menyibukkan diri dengan membaca beberapa buku pelajarannya sampai ia bisa sampai pada tujuannya yang kurang lebih dia tempuh selama satu jam. Hani pun demikian, setelah teman lamanya itu mengacuhkannya ia pun memilih bungkam dan sesekali memainkan gadget-nya.
            “Jangan buang waktumu untuk memikirkanku Han, percayalah semua akan indah pada waktunya.” Kata Sania sebelum akhirnya mereka berpisah setibanya di halte.
            Sania bekerja sebagai DJ di sebuah bar dan kadang juga sebagai bartender yang tugasnya mengambil dan menuangkan minuman pada gelas-gelas para pemabuk.
            “Sania, sudahkah kau membeli buku yang diperintahkan gurumu kemarin?.” Tanya ibunya di pagi buta.
            “Tidak… maksudku Sania bisa meminjam buku teman sebangku bu, buku itu lumayan mahal lagian membelinya juga tidak di wajibkan hanya di sarankan.” Jawab Sania lalu bangkit dari dipannya memeluk dan mencium lembut kening ibunya sebelum akhirnya dia kembali menjajakan dagangan sayur ibunya ke komplek-komplek di sekitar tempat tinggalnya.
            Sania kembali dengan gerobak tua ibunya pukul 05.55, menyerahkan hasil jualannya yang hanya mendapatkan uang 35.000 menurun dari hari sebelumnya, memakan sarapan seadanya yang telah disiapkan oleh ibunya , mandi lalu berangkat ke sekolah yang tak seberapa jauh dari lingkungan perumahannya.
            Pada hari Minggu pagi tepatnya saat Sania masih memanjakan tubuhnya di kasur usangnya, ia dengan jelas mendengar sesuatu jatuh bedebam tak jauh dari biliknya. Matanya terbelalak, ia sepenuhnya sadar dan dengan cepat meloncat dari dipannya menuju sumber suara tersebut. Hal yang dia takuti pun terjadi, untuk kedua kalinya ia melihat ibunya terkapar di lantai dengan bibirnya yang miring, stroke.
            Sania berteriak minta tolong tetapi hasilnya nihil karena masih pagi buta, pintu tetangga-tengganya masih tertutup rapat dan beberapa yang mendengar teriakan Sania pun acuh karena ketidaksukaan mereka pada Sania. Baru 5 menit kemudian datanglah Haji Tamrin dengan tergopoh-gopoh dan segera membantu Sania membawa Ibunya ke Puskesmas naik angkot yang kebetulan sudah beroperasi.
            “Stroke kedua.” Kata dokter Fifi.
            “Maafkan saya dok, tapi uang saya belum cukup untuk mengoperasikan APS yang di derita ibu saya.” Kata Sania dengan mata yang berkaca-kaca.
            “Antiphospholipid Syndrome Primer ibumu tidak bisa hanya di obat jalan saja nak, penggumpalan darah penyakit autoimun ini bisa saja menggumpal dan pecah di mana saja termasuk di mata yang pasti akan menimbulkan kebutaan baik secara sementara maupun permanen, bahkan yang terparah bisa mengakibatkan kematian.” Jelas dokter Fifi.
            Tangis Sania pecah begitu saja saat dokter Fifi berlalu meninggalkannya, perih dirasakannya saat melihat ibunya terbaring lemah di ruang ICU. Haji Tamrin berusaha menenangkan Sania sebelum akhirnya dia terpaksa harus pulang karena dia ada acara lain.
            Sania menyusuri jalan, mencari-cari selebaran lowongan pekerjaan yang bergaji besar dalam waktu yang singkat setelah sebelumnya menyerahkan uang tabungannya kepada dokter Fifi yang memang telah jauh-jauh hari ia siapkan untuk penyembuhan ibunya.
            “APS Primer memiliki presentase kesembuhan yang kecil Sania, meskipun operasi telah di lakukan untuk ibumu tetapi tetap saja penyakit itu tidak akan hilang. Hanya saja, operasi dilakukan untuk mencegah beberapa kemungkinan buruk setelah stroke kedua. Jangan biarkan seharipun ibumu lupa meminum obatnya karena dengan cara itu maka kita bisa sedikit melumpuhkan APS Primer ibumu.” Jelas dokter Fifi sambil mengelus rambut Sania.
            “Terimakasih atas kerja keras anda dok.” Kata Sania sumringah.
            Ibunya masih harus mengalami masa koma setelah operasi, selama ibunya koma Sania tak pernah sekalipun meninggalkan rumah sakit karena ia ingin hanya dialah yang dilihat pertama kali oleh ibunya saat sudah kembali dari komanya,
            2 Minggu setelahnya barulah ibunya sadar dari komanya, tapi sikap ibunya berubah seketika. Ibunya tak ingin di dekati olehnya, tak bisa di ajak bicara oleh siapapun. Ibunya terus diam dan seperti memikirkan sesuatu, kadang-kadang juga menangis.
            “Ada apa bu? Apa yang terjadi denganmu?.” Tanya Sania dengan masih berada di jarak yang jauh dari ibunya.
            “Diam kau anak biadab!.” Kalimat pertama yang diucapkan padanya setelah sadar dari komanya 5 hari yang lalu.
            Hatinya perih tak tertahankan, kalimat itu memang biasa ia dengar dari para tetangganya tetapi kali ini berbeda karena kalimat itu diucapkan dengan spontan oleh ibunya sendiri. Sania menangis menunduk dengan kedua tangannya memegang dadanya yang sesak.
            Ibunya melepas selang infus dari tangan kanannya turun dari kasur rumah sakit dan berjalan mendekati putrinya yang sekarang menunduk dengan batinnya yang meronta kesakitan. Dengan kasar ibunya menarik rambut Sania untuk mendongakkan wajah Sania yang memerah dengan kedua pipinya yang basah oleh air mata.
            Kini sakit yang di rasakan Sania bukan hanya mendera batinnya tetapi juga fisiknya karena ibunya berulang kali memukul, menampar dan menarik kuat rambut hitam panjang Sania yang selalu di kuncir. Tidak ada yang mengetahui perlakuan kasar ibunya itu karena Sania benar-benar menahan rasa sakitnya dan membungkam mulutnya dengan kedua tangannya agar tidak bersuara karena ia tak mau ibunya dipandang buruk oleh orang lain.
            “Sakit Sania?.” Tanya ibunya dengan nada marah.
            Sania mengangguk pasrah karena tangan ibunya masih mencengkram erat rambutnya.
            “Itu tidak lebih parah dari apa yang ibumu ini rasakan Sania, bertahun-tahun…….” Kalimatnya terhenti karena ibunya tak sanggup untuk menahan air matanya lagi.
            “Bertahun-tahun ibumu yang miskin ini mendidikmu Sania, kau bahkan tak pernah sekalipun mengiyakan keinginan ibumu untuk berhenti bekerja pada malam hari. Ibu sudah gagal mendidikmu Sania. Gagal..” kata Ibunya, kini keduanya menangis.
            “Tidak bu.. itu tidak….”
            “Apa Sania? Apa? Terlambat Sania, jangan meminta maaf padaku.” Kata ibunya.
            Sania tak menjawab apapun, ia hanya menangis.
            “Apa benar kau dari kegelapan Sania? Apa aku melahirkanmu untuk kegelapan?.” Tanya ibunya penuh penekanan.
            “Apa maksud ibu?.” Tanya Sania tak mengerti.
            “Lihat apa yang terjadi pada ibumu! Darimana kau mendapat uang untuk mengoperasiku? Uang itu pastilah dari kegelapan yang mereka maksud kan?.” Jawab ibunya kini kembali menangis lagi.
            “Tidak bu, bukan.” Jawab Sania.
            “Tidak apanya? Kau juga pembohong sekarang Sania? Ibu kecewa.” Kata ibunya lalu kembali ke kasurnya.
            “Maafkan Sania bu, tapi Sania benar tidak melakukan sesuatu yang ibu maksudkan itu.” Jawab Sania bersungguh-sungguh.
            “Lalu?.”
            “Sania tak pernah membayar SPP sekolah Sania bu, karena Sania mendapatkan beasiswa di sekolah  dan uang hasil kerja DJ Sania simpan untuk biaya penyembuhan ibu. Sania juga bekerja sebagai pencuci piring di warung-warung sepulang sekolah.” Kata Sania yang sukses membuat ibunya membelalakkan matanya dan mengisyaratkan pada Sania untuk mendekat padanya.
            “Maafkan ibu nak, karena yang ibu tahu hanyalah kau bekerja di bar bukan yang lainnya apalagi niatmu untuk membiayai perawatan ibumu. Maafkan keaadaan fisik dan ekonomi ibumu ini yang apapun selalu bertumpu padamu.” Kata ibunya lalu memeluk erat Sania sambil menangis haru dan menyesali perbuatan kasarnya pada Sania tadi.
            “Jangan salahkan keadaan bu, jangan mengeluh apapun keadaannya karena mengeluh sama saja dengan kufur terhadap nikmat Sang Pencipta. Yakinlah bu, semua akan indah pada waktunya.” Jawab Sania yang semakin membuat ibunya terharu.
            Ibunya kini sangat menyesal karena kata-kata kotor yang ia lontarkan pada putrinya itu, ia kini sadar bahwa beberapa waktu yang lalu ia menjelma seperti tetangga-tetangganya yang dengan tidak sengaja telah ikut andil dalam pembentukan karakter putrinya dengan menambah ketegaran hati putrinya itu bahwa selama ini terdapat gumpalan-gumpalan kabut hitam yang berada tepat di depan mata mereka sehingga mereka dengan mudah mengklaim atas apa yang di tangkap oleh pandangan mereka tanpa mengetahui akan apa yang terhalang kabut hitam tersebut, dan hal itu juga terjadi pada dirinya sendiri yang telah mengakibatkan air mata putrinya menganak sungai.
            “Adakah lagi yang ingin kau katakan pada ibumu yang tak berdaya ini, Nak?.” Tanya ibunya.
            Sania menarik nafasnya dalam-dalam, mengeratkan pelukannya pada tubuh ibunya, mencium kening dan kedua pipi ibunya lalu memeluk ibunya lagi sambil mengatakan sebuah kenyataan yang pastinya akan membuat ibunya menangis dan bersedih hati.
            “Ini pilihan Sania bu, bukan salah ibu atau siapapun. Sania telah melanggar aturan pemerintah bu, semoga Tuhan memaafkanku dan juga ibu berkenan memaafkan Sania, saat ini bu.. Sania hanya memiliki satu ginjal.”

                                                                                                                          
   Karya, Vivit IC Hartono